Bila akhirat menjauhi kita
Nun di sana. Kita akan bersua. Seperti air
sungai yang mengalir berliku, kesana pula bermuara pada akhirnya. Tetapi
akhirat bukan sekadar tempat berkesudahan yang . terpaksa. Atau tempat
pembuangan segala isi alam semesta. Ya, pada ketetapan Allah, taqdir dan
kuasa-Nya, tak ada yang bisa lari dari akhirat.
Tapi bagi orang-orang
beriman akhirat adalah juga tempat menggantungkan cita-cita, harapan,
dan puncak kebahagiaan abadi. Lain halnya bagi orang-orang yang
bergelimang dosa, bergumul dengan syetan dan hawa nafsu, akhirat adalah
tempat perhempasan yang menyakitkan. Seperti onggokan sampah yang tak
kuasa terbawa arus. Melaju. Di sana pula sampah itu mengalir. Lalu
terhenti seketika. Menebus segala kotorannya.
Akhirat. Jauh dan dekatnya sangat tergantung pada
cara kita mengejarnya. Lama dan sebentarnya tergantung bagaimana kita
berjalan menuju ke sana. Sejatinya kita bertaruh untuk sesuatu yang
sangat pasti.
Akhirat yang sering terlupakan. Ia semestinya hadir di
setiap jenak hidup kita, meski terasa asing dan tak tergambarkan. Ia
dekat tapi sering dianggap jauh. Ia nyata, bilapun sering dirasa sebatas
cerita. Seperti pemangsa bertaring, ia bisa menyergap tiba tiba, tapi
betapa banyak orang yang tak pernah menyadarinya.
Akhirat. Seperti sahabat sehati. Ia akan terus
melambai, bila kita masih jujur padanya. Ia akan merindukan kita, bila
kita juga merindukannya. Ia akan menyiapkan sambutan untuk kita, bila
kita masih setia berjalan menuju kepadanya. Kesetiaan seorang Mukmin
yang mencari cinta sejati: cinta yang menghidupkan dan memastikan
harapan. Kesetiaan seorang Mukmin yang mengerti bahwa dunia hanya teman
sementara, kawan yang menangkar mawar tapi juga durinya, madu tapi juga
racunnya, manis tapi juga pahitnya.
Maka, di tengah hidup yang sangat penat dan
melelahkan, bertanya tentang kampung akhirat yang abadi adalah
keniscayaan. Di tengah gemerlap hidup yang memacu peradaban materinya,
bertanya tentang kabar sahabat sejati adalah kemestian: apa kabar
akhirat?
Tapi ia akan lebih berhak bertanya: apa kabar kita
sendiri? Masihkah kita menjadi pengejar akhirat? Di sini segalanya
terasa sangat adil. Bila kita menjauh, Ahirat pun akan menjauhi kita.
Bila kita menghindarinya, ia juga akan menghindari kita. Tapi bila kita
mendekat, akhirat pun akan mendekat.
Kita mesti bersyukur, dari sisi yang lain, betapa
dekat atau jauhnya akhirat bisa kita rasa, di lubuk hati yang paling
dalam, di kedalaman iman yang bercahaya, kita bisa bertanya. Pada segala
suasana jiwa, gambaran pikiran dan bahkan pilihan selera.
Maka tutur kata kita adalah bahasa akhirat kita,
menjauhi atau mendekati. Kerja-kerja dan kebanggaan prestasi kita adalah
lorong-lorong akhirat kita, menjauhi atau mendekati.
Kadar spiritualitas ruhani kita, adalah
tambatan-tambatan akhirat kita, kuat atau lemahnya. Juga obsesi-obsesi
kemanusiaan kita, adalah prasasti yang ditonggakkan di muka, tentang
akhirat kita, kokoh atau lemahnya. Sedangkan jumlah terhitung dari
kebajikan-kebajikan kita, adalah benih-benih pengharapan akan penerimaan
Allah, kunci-kunci akhirat kita, berjodoh atau tidaknya.
Akhirat, sahabat abadi itu masih menyisakan
kesempatan untuk kita. Setidaknya hingga jenak ini. Di sini. Saat kita
masih seperti ini. Jadi, cermin itu ada di sini, bersama diri kita
sendiri, bersama kadar iman kita, di tengah kadar pasang surutnya.
Sementara segala dosa dan kesalahan kita, adalah bebatuan terjal yang
menghambat perjumpaan dengan sahabat sejati: akhirat yang dirindukan.
Segala yang hidup punya pertanda. Begitu pun
akhirat, tempat segala kehidupan sejati bersaksi, ada banyak pertanda.
Apakah ia bersama kita atau tidak. Apakah ia mendekat kepada kita atau
menjauh. Pada cermin jati diri itu ada cerita, tentang akhirat yang kian
menjauh atau lebih mendekat.
Bila suatu hari, terasa sangat sepi, mungkin itu tandanya kita harus bertanya, adakah akhirat telah menjauhi kita?
Tutur kala kita adalah bahasa akhirat kita,
menjauhi atau mendekati. Kerja-kerja dan capaian prestasi kita adalah
lorong-lorong akhirat kita, mcnjauhi atau mendekati. Pada itu semua,
mari kita bertanya, sejujurnya. Wallahu’alam
No comments:
Post a Comment