Firasat
Naluri firasat mampu membuatnya merasakan getaran kegelisahan hati orang lain, mampu merasakan kedatangan bahaya yang mengancam dirinya, mampu merasakan alur fikiran lawan bicaranya, dan banyak lagi contoh yang bisa disebutkan.
Selanjutnya, firasat tersebut menjadi pegangan baginya untuk bertindak, untuk melangkah dan untuk memilih. Namun demikian harus dicatat, bahwa apapun yang dimunculkan oleh firasat, tidak bisa dijadikan landasan hukum syar’i. Sejauh manakah Nabi Muhammad SAW dan para sahabat mengomentari potensi firasat dan bersikap terhadapnya? Mari kita simak tulisan berikut.
Firasat, menurut Ibnul Qayyim adalah cahaya yang
Allah berikan ke dalam hati hambaNya yang sholeh. Cahaya itu menjadikan
seorang hamba dapat menduga sesuatu yang akan terjadi pada dirinya, atau
menjadikannya dapat melihat sesuatu yang tidak dapat dilihat oleh orang
lain. (Ar-Ruh, 234).
Meski sama-sama lintasan hati, firasat tentu bukan su’u dzon
atau buruk sangka. Firasat tumbuh dari kebersihan hati karena kedekatan
seseorang kepada Allah. Sebaliknya buruk sangka tumbuh dari kekotoran
hati dan kejauhan hubungan dengan Allah. Ibnu Abbas ra, memaknai kata mutawassimin
dalam firman Allah "Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda (kekuasaan Kami) bagi orang yang memperhatikan
tanda-tanda (mutawassimin)." Menurut Ibnu Abbas, mutawassimin adalah mutafarrisin, atau orang-orang yang memiliki firasat.
Pandangan seperti itulah yang dimaksud dalam sabda
Rasulullah saw, "Takutlah kalian dengan firasatnya orang mu’min karena
ia melihat dengan cahaya Allah." (HR. Turmudzi). Dalam sebuah hadits
Qudsi yang shahih, Rasulullah menyebutkan, "Tidaklah seorang hamba
mendekatkan diri pada-Ku yang lebih Aku cintai dari melakukan apa yang
telah Aku wajibkan. Dan tidaklah seorang hamba mendekatkan diri kepadaku
dengan mengerjakan perintah yang sunnah, kecuali Aku pasti
mencintainya. Dan bila aku mencintainya, maka Aku akan menjadi
pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar. Aku akan menjadi
penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat. Aku akan menjadi tangannya
yang ia gunakan untuk memukul. Aku akan menjadi kakinya yang ia gunakan
untuk berjalan. Dengan-Ku lah ia mendengar, melihat, memukul dan
berjalan."
Hadits qudsi ini sekaligus menyebutkan korelasi
yang kuat antara kedekatan seorang hamba dan Allah, dengan cahaya Allah
yang akan menjadikannya mampu memiliki firasat yang benar.
Rasulullah bisa mengetahui sahabat yang sholat di
belakangnya, seperti menyaksikan mereka di hadapannya. Rasulullah juga
bisa melihat baitul Maqdis yang jauh secara detail dari tempatnya di
Makkah. Ia juga dapat mengetahui kondisi para sahabatnya dalam perang
mu’tah, ketika ia berada di Madinah. Rasulullah juga mengetahui ketika
Najasyi wafat di Habasyah, padahal Rasulullah berada di Madinah. Atas
firasat itulah,
Rasulullah mengajak para sahabatnya untuk melakukan
shalat ghaib atas wafatnya Najasyi.
Umar bin Khattab pun mengetahui kondisi pasukannya
di Nahawand saat berperang melawan pasukan Persia, padahal Umar berada
di Madinah. Itu yang menyebabkan secara tiba-tiba, khalifah pertama
Islam itu mengatakan, "Pasukan!, naik ke gunung… pasukan naik ke
gunung…"
Itulah firasat orang beriman. Ketika ketundukan
dan kedekatan kalbu pada Yang Maha Kuasa , melahirkan pandangan yang
bersih dan jernih. Wallahu’alam.
No comments:
Post a Comment